Archive for Juli, 2010

Tasawuf: Mazhab Cinta


Oleh: Haidar Bagir (Buku Saku Tasawuf)

Rudolf Otto, seorang pemikir yang dianggap sebagai seorang ahli fenomenologi agama, menyebutkan adanya dua situasi pertemuan manusia dengan Tuhannya. Dalam situasi pertama, Tuhan tampil di hadapan manusia sebagai suatu “misteri yang menggetarkan” (mysterium tremendum). Pada situasi lainnya, Dia hadir sebagai suatu “mistei yang memesonakan” (mysterium facinum). Biasanya, para ahli – seperti Van Der Leeuw – melihat Islam (dan juga agama Yahudi) sebagai mewakili situasi yang pertama. Secara hampir refleks, para ahli seperti ini pun me-eserve situasi yang kedua – yang didominasi cinta – untuk Kekristenan. Namun, para ahli mengenal esoteisme Islam (spiritual Islam atau tasawuf) yang belakangan, seperti yang diwakili dengan baik oleh Annemarie Schimmel, melihat Islam sebagai tak kurang-kurang mempromosikan orientasi cinta dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya sebagai berorientasi cinta. Bahkan, seperti akan diuraikan di bawah ini, dalam hal ini Islam justru Islam lebih memujikan orientasi cinta ketimbang orientasi yang didominasi rasa takut.

Untuk memulai pembahasan mengenai soal ini, perlu disampaikan bahwa khazanah pemikiran Islam klasik sesungguhnya juga telah mengenal kedua situasi pertemuan manusia dan Tuhannya ini. Yakni, aspek kedahsyatan yang menggentarkan (disebut jalal) dan aspek keindahan yang memesonakan. Namun, adalah benar juga bahwa selama berabad-abad –khususnya selama abad-abad modernistik belakangan ini – kaum Muslim seperti lupa pada sisi esoteris agama mereka yang melihat hubungan manusia – Tuhan sebagai kecintaan makhluk kepada keindahan yang memesonakan Sang Khalik. Jadilah Islam, seperti yang diungkapkan ahli fenomenologi agama itu, suatu agama yang secara eksoteris melulu yang berorientasi nomos (syariah dalam arti sempit, hukum) dan kering dari orientasi eros (cinta, hubb).

Kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu an u’rofa, fa khalqtu al-khalqa li kay u’rof [Aku adalah perbendaharaan yang terpendaam. Aku cinta (ahbabtu) untuk diketahui. Maka Aku ciptakanlah alam semesta]. Demikianlah Allah Azza wa Jalla berfirman dalam suatu hadis qudsi.

Basis dari penciptaan awal mulanya, menurut hadis yang merupakan kutipan standar dalam hampir setiap uraian tasawuf ini, adalah kerinduan atau kecintaanTuhan akan (ma’rifah) manusia. Lepas dari ‘ocehan’ para sufi ini, Al-Quran menegaskan hubungan cinta antara Allah Sang Pencipta (Al-Wadud) dan manusia liat 99 nama Allah , antara lain, Al-Quran surah Al-Maidah [5]: 54; Al-Baqarah [2]: 165, 216). Inilah salah satunya: “Adapun orang-orang yang beriman itu, sangat dalam kecintaan mereka kepada Allah.”

Menurut salah satu penelitian, bukan saja lebih banyak porsi dalam 99 nama Allah (al-asma, al-husna) bagi nama-nama yang termasuk dalam aspek jamal Allah Swt. Seperti Maha Pengasih (Al-Rahman), Maha penyayang (Al-Rahim), maha Pencipta (Al-Wadud), Maha Pemaaf (Al-Ghafur), Maha Penyabar (Al-Shabur), Maha Lembut (Al-Lathif), dan seterusnya. Bahkan didalam Al-Quran terdapat 5 kali lebih banyak ayat yang mengandung nama jamliyyah ini. ketimbang jalaliyyah. Sebagai contoh, menurut catatan kata-kata Al-Rahman dan Al-Rahim dipergunakan sebanyak 124 kali dalam Al-Quran. Sementara kata-kata ghadab (murka) dan bentuknya terdapat hanya 7 kali dalam seluruh kitab suci yang sama. Dengan kata lain, Allah menampilkan dirinya – dan tak ada yang dapat menampilkan Allah kecuali diri-Nya sendiri –lebih sebagai Zat yang indah dan memesona serta menimbulkan cinta kasih, ketimbang sebagai suatu misteri dahsyat yang menggentarkan. Kenyataan ini tentu sama sekali tak berarti bahwa kita harus mengabaikan penampilan Allah Swt. Dalam segenap kedahsyatannya. Tapi, bahwa segenap kedahsyatan Allah itu –kemurkaan, kepemaksaan, janji pembalasan-Nya terhadap kejahatan makhluk, dan sebagainya– merupakan bagian dari kecintaan-Nya kepada makhluk. Dalam sebuah hadis qudsi, disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman: ‘Sesungguhnya kasih saying-Ku mendahului kemurkaan-Ku.” Di dalam Al-Quran, Dia sendiri menyatakan sebagai “telah menetapkan atas Diri-Nya sifat Pengasih (rahmat),” serta mengajarkan bahwa rahmat-Nya “seluas langit dan bumi” dan “meliput segala sesuatu.” Sejalan dengan itu, Nabi-Nya pernah mengabarkan kepada kita bahwa: “Allah memiliki seratus rahmat. (Hanya) satu yang ditebarkan-Nya ke atas alam semesta, dan itu sudah cukup untuk menanamkan kecintaan di hati para ibu kepada anak-anaknya.” Sehingga, “Seekor induk kuda mengangkat kakinya agar tak menginjak anaknya, dan seekor ayam betina mengembangkan sayapnya agar anak-anaknya berlindung dibawahnya.”

Sayangnya, dalam segenap kegentaran kita kepada kedahsyatan (jalal) Allah Swt., banyak diantara kita sulit membayangkan bentuk hubungan cinta antara Yang Maha segala dan makhluk ringkih bernama manusia ini. Paling banter, orang akan menafsirkannya sebagai sinonim dari keterikatan atau ketaatan seorang hamba (‘abd) yang takut kepada Tuhan (Rabb)-nya.

Untuk membuyarkan fiksasi kita tentang Allah yang menakutkan ini, izinkan saya mengungkapkan simbolisasi Ibn ‘Arabi dalam karya besarnya, Fushush Al-Hikam, Hubungan cinta antara Allah dan manusia, kata sang sufi besar yang controversial ini, adalah seperti hubungan cinta antara manusia lelaki dan perempuan. (Inilah, kata Ibn ‘Arabi, hikmah hadis termasyhur Nabi Saw. mengenai kecintaan beliau kepada perempuan, disamping kepada

shalat dan wangi-wangian.Bisa jadi pada awalnya sang sufi besar itu berpikir: “ Pasti ada hikmah yang lebih ‘sakral’ dibalik kesukaan Sang Manusia Sempurna Saaw. kepada objek profane yang tampak remeh-temeh itu”). Artinya, kecintaan Allah kepada manusia – dan yang sebaliknya – adalah seperti cinta kasih dua sejoli anak manusia yang asyik ‘asyiq-masyuk (istilah bahasa Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia ini sebetulnya merupakan bentukan dari kata ‘isyq – berar ti cinta – yang merupakan salah satu istilahkunci dalam (tasawuf). Banyak sekali ujar-ujar para sufi besar lainnya mengenai hal ini. Selain para sufi-sufi seperti Ibn ‘Arabi dan Ibn Al-Faridh, yang menonjol diantaranya adalah dari sufi perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah. Dia dikenal dengan syair-syair menggetarkan yang menunjukkan hubungan cinta kasih antara manusia dan Tuhan: “Ya Allah,” demikian munajatnya di suatu malam, “saat ini gelap telah menyelimuti bumi. Lentera-lentera telah dimatikan, dan para manusia telah berdua-dua dengan kekasih-Nya. Maka, inilah aku, mengharapkan-Mu.”

Diriwayatkan, dia pernah ditemui orang berjalan di jalanan Kota Bagdad sambil membawa obor di salah satau tangannya, dan satu ember di satu tangannya yanga lain. Ketika ditanya tentang tujuannya, dia menjawab: “Aku akan membakar surga dengan obor ini, dan aku akan memadamkan api neraka dengan seember air ini.” Memang Rabi’ah juga dikenal luas dengan syairnya: “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena berharap surgamu, maka jauhkanlah surge itu dariku. Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mum maka masukkan aku kedalamnya. Tapi, jangan halangi aku dari melihat wajah-Mu.”

Munajat Rabi’ah ini kiranya sejalan belaka dengan berbagai ujaran ‘Ali ibn Abi Thalib – sahabat dan penerima wasiat Nabi, guru para sufi awal , dan pangkal hampir semua silsilah tarekat –khususnya bagian-bagian tertentu dalam Doa Kumail yang oleh Nabi diajarkan kepadanya: “Kalaupun aku sabar menanggung beban penderitaan (di neraka) bersama-sama musuh-Mu dan Kau kumpulkan aku dengan para penerima siksa-Mu, dan Kau ceraikan aku dari kekasih dan sahabat-Mu…kalaupun aku, Wahai Ilah-ku, Tuanku, Sahabatku, dan Rabb-ku, sabar menanggung siksa-Mu, bagaimana ku bisa sabar menanggung perpisahan dengan-Mu…kalaupun aku bisa bersabar menanggung panas-neraka-Mu, bagaimana ku bisa bersabar dari melihat kemuliaan-Mu…”
Dalam kontek ini menjadi terpahamkan ketika, suatu kali, ‘Ali menyayangkan ibadah ala budak yang ketakutan, atau ala pedagang yang selalu menghitung-hitung imbalan, hubungan yang berlandaskan cinta. Seolah menjelaskan maksud ujaran Bapaknya, Husain ibn ‘Ali menyeru: “…merugilah perdagangan seorang hamba yang tidak menjadikan cinta kepada-Mu sebagai bagiannya.” Akhirnya, munajt cucu Nabidan mazmur ‘Ali Zainal ‘Abidin berikut in dapat menjelaskan hubungan kompleks antara manusia dan Tuhan dalam ajaran Islam: “Wahai Zat yang memberikan kelezatan persahabatan kepada para kekasih-Nyasehingga mereka bisa berdiri tegak dengan akrab di hadapan-Nya, dan wahai Zat yang memberi para wali-Nya pakaian kebesaran sehingga mereka bisa berdiri tegak di hadapan-Nya seraya memohon ampunannya.”

Tasawuf mempromosikan jenis hubungan penuh cinta kasiih antara Tuhan dan manusia, antara Khaliq dan makhluq antara Ma’bud dan ‘abid, dan seterusnya. Yakni segenap kedirian kita, nafsu-nafsu duniawi kita, telah sirna oleh mujahadah jiwa kita yang telah tersucikan di dalam Allah, kembali lebur (fana) dan tinggal tetap (baqa) did lam-Nya. Hubungan seperti ini adalah puncak dari seluruh perjalanan spiritual (suluk) manusia (kembali kepada Allah). Inilah sesungguhnya ideal tasawuf.

“Segala puji bagi Allah yang mencintaiku, padahal Dia Mahakaya dan tidak membutuhkan apa pun dariku.”